September, 2012
Embun dan kelu…
“Apa yang sedang kaupikirkan,Sayang?” suara laki-laki mendesis ke telingaku. Aku terkesiap. Sejurus aku terus mengawasi embun yang menjalari dedaunan di balik jendela. Terasa bibirnya mencium rambut. Aroma minuman hangat menelisik hidung. Pandanganku beralih padanya. Dia mendekatkan secangkir Cappucino padaku. Aku menyeruputnya dengan perlahan .
“Cukup nikmat untuk mengawali pagi ini” ujarnya. Aku mengangkat bahu.
“Apa yang sedang kaupikirkan?” tanyanya sekali lagi. Aku menelan ludah. “kau masih memikirkan lelaki keji itu?” Nafasnya sedikit terengah sedang memburu jawabanku. Wajahnya terlihat kecut.
“Sudahlah, aku tak ingin membicarakan hal itu lagi! Aku di sini mencoba menyembuhkan lukaku,” jawabku getir “Setidaknya untuk sementara waktu”
“Baiklah, aku berangkat kerja dulu. Tinggalah di sini sampai kapan pun kaumau. Besok aku libur. Aku ingin mengajakmu ke sebuah tempat.” Dia membelai rambutku dan menyelipkan beberapa helai rambut di belakang telinga. “Hanya laki-laki buta yang membuatmu terluka, Tirai!” Tangannya mengusap lembut pipiku.
Dia berlalu dengan gerung motor sportnya. Rasa ngilu pipiku berubah menjadi beberapa gambar luka kehidupan rumah tangga yang tak jelas bagaimana ujungnya. Ah, Senin Pagi yang menjemukan.
~~~
Desember, 2008
“Kalian sekarang sudah lulus pesantren. Tak baik bagi kalian bersama-sama tanpa ada ikatan apapun” ujar seorang pria tua. Lengannya memegang tongkat yang terbuat dari rotan.
“Apalagi kalau pria suka menginap di rumah perempuan yang bukan muhrimnya. Bisa menimbulkan fitnah!” jelas seorang perempuan di sebelah lelaki tadi. Aku dan Rasyan bersitatap. Sudah bisa kutebak ke mana arah pembicaraan mereka.
“Tirai… Nenek dan kakek sudah berpesan pada Ibumu agar kalian segera dinikahkan. Ibumu setuju. Dan kau Rasyan, segeralah mengajukan lamaranmu kepada Tirai.
Degh. aku menelan ludah. Menikah? siapa yang tak ingin menikah. Menikah usia 18 tahun ini, masih banyak yang ingin aku raih. Apalagi Rasyan masih 19 tahun. Kematangan serta kedewasaan belum selebat janggutnya. Aku juga masih ingin meneruskan kuliah, masih ingin mengembangkan karir, ingin….
“Ya, Kek. Saya pun berpikir begitu. Mudah-mudahan dalam waktu dekat ini saya bisa segera mengajukan lamaran pada Tirai” laki-laki berambut ikal itu mengaminkan seraya tersenyum getir.
Terlampau banyak mengundang persepsi negatif sejak pertama aku menjalin hubungan dengan Rasyan. Dari semasa Madrasah Aliyah (setingkat SMA), yang belum genap satu bulan aku lulus, sering jadi bulan-bulanan para ustadz pesantren. Aku dan Rasyan memang dianggap melanggar aturan pesantren yang tak membolehkan pacaran. Tapi Aku bukan mau mencari sensasi, aku tak bisa membohongi perasaan. Aku juga ingin seperti pasangan pada umumnya, jalan-jalan, malam minggu nonton dan…versi anak muda lah pokoknya.
Menikah? gambaran pernikahan perceraian orang tuaku masih menggelayut sampai saat ini. Ah, Entahlah, aku benci hal jelek dalam rumah tangga.
Januari, 2009
Aku akui ingin menikah. memang tak mudah untuk menerima keputusan itu, bagiku. Namun, keraguan itu sedikit demi sedikit menguap setelah dijejali semacam penguatan dari sanak saudara.
Ya, Bulan ini aku menikah. Resepsi pernikahan yang sederhana. Beberapa hiburan musik dan menu untuk 3000 undangan turut menyederhanakan resepsi ini. Padahal aku sudah berpesan ke pada orang tuaku dan calon mertua untuk tidak menggelar resepsi pernikahan. “Resepsi ini kan satu kali untuk selamanya. Apalagi kalian anak pertama dan anak satu-satunya” kata mereka. Aku membatu.
Juli 2009
Enam bulan masa mengarungi kebahagiaan dengan Rasyan masih penuh dengan kasih sayang. Namun, badai bisa kapan saja menghadang bahtera rumah tangga, tepat enam bulan setengah ada yang berbeda dengan dirinya. Entah sadar atau tidak akan posisinya sekarang adalah seorang suami yang wajib menafkahi keluarganya. Sengaja di awal aku tidak mengungkapkannya karena aku pikir dia akan tahu tugas apa yang harus diemban seorang suami. Tapi akhirnya harus kukatakan bahwa uang “kas” sudah mulai menipis
“Apakah tidak lebih baik jika kau mencari pekerjaan?”
“Besok aku coba bilang ke Papa. Mungkin ada lowongan jadi pengajar di sekolahnya,” ucapnya tenang, sementara mulutnya membulatkankan asap rokok.
Baru besok, kenapa tidak dari semenjak enam bulan lalu.
~~~
Aku bersyukur Rasyan mengajar. Takmasalah mendapat seratus ribu perbulan walaupun belum cukup untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Namun Aku takrela jika uang itu di pakainya membeli rokok. Terlebih dia tak pernah bertanya atau memperhatikan kebutuhan pokok. Untungnya sedikit pun dia tidak tahu ibuku memberikan uang saku setiap bulannya.
“Aku akan berjualan di depan sekolah Papa” Ujarku pada Rasyan
Dia mengkerutkan kening, “Berjualan apa?”
“Makanan ringan anak-anak lah”
Hanya mengangguk. Dia tak berkomentar banyak. Setiap harinya semakin akrab dengan asap rokok. Akan luar biasa marah jika Aku berani melarangnya.
~~~
“Tirai…! Ada uang nggak?”aku kaget baru saja membereskan daganganku. Dia membuka kotak uang hasil jualanku “Aku ingin rokok!”
Aku lantas memberikan uang tiga puluh ribu. Alih-alih membantuku membereskan dagangan ini, dengan cepat ia melajukan motornya. Rasyan sudah tidak mengajar lagi selepas aku berjualan di depan sekolah SD kencana. “Tidak bisa mengatur kelas” katanya. Aku hanya bisa menghela nafas. Memberi masukan sebagus apapun padanya tak akan berarti.
Januari, 2011
Bisa disebut inilah yang spesial ulang tahun usia pernikahanku. Sayangnya, bukan sesuatu yang membuatku bahagia melainkan murka yang melanda. Dia buka Rasyan yang dulu kukenal. Selama berbulan bulan aku mencoba bersabar dengan segala kepahitan yang ada. Samudera cinta yang dulu dia ungkapkan kini sudah mengering. Bukan saja tak peduli dengan Istri. Dia mulai berani keras terhadapku. Apalagi sejak dikuliahkan oleh mertuaku, semakin membatin rasanya hidup ini.
Sekarang aku tidak berjualan lagi. Aku kerja di sebuah pabrik tekstil. Itu pun atas dasar permintaan mertuaku yang serta merta senang saat aku menyetujuinya. Kadang aku merasa adil tak berpihak, dia kuliah sedangkan aku kerja. Biarlah semoga kuliahnya membuahkan hasil untuk masa depan. Aku segera menepis.
~~~
Kerja di pabrik tekstil dengan waktu 12 jam memang menguras waktu dan tenaga. Berharap akan ada perubahan setelah Rasyan menyelesaikan kuliahnya. Itu pula hal yang tak menyurutkan rasa cintaku pada Rasyan. Namun, Entah setan apa yang merasukinya saat ini. Sikapnya yang semakin hari semakin menimbulkan besar kecurigaanku. Jangankan kata cinta, hanya menatap mata saja dia enggan. Setiap mengangkat telp atau sekedar smsan dengan temannya, Rasyan menjauhkan pandangan dariku. Mungkinkah dia sudah bosan denganku? Mungkikah dia memiliki kekasih lagi?
“Jadi istri jangan suudzon pada suami!”ungkapnya saat aku menanyakan mengapa dia selalu sms-an sendiri dan tak mengijinkan sedikit pun melihatnya. Jika pun mengijinkan, inbox-outbox sudah kosong.
“Aku lihat no HP mu kebanyakan no cewek semua, A?” aku memancing lagi.
“Emangnya gue homo ngumpulin no cowok!”
“Kau tahu akhir-akhir ini aku sering menangis?” air mataku hendak menjalari pipi. Dia dengan tenang memainkan jemarinya di atas keypad HP.
“Diem, Ah. Udah malam, Rai. Tidur sana!”
“ Bukan gitu, Aa. Sikapmu semakin hari seperti membenciku. Apakah kaupunya kekasih lain?”
“Emang salah kalau gua sekedar suka?”
“kau suamiku, A. Buat apa kau menikahiku jika sekarang aku hanya Benalu. Aku tak bissa menahan hasratmu untuk perempuan lain. Tapi ijab-qobul yang dulu kau ucapkan hanyalah omong kosong.
Dia masih bersikap tak peduli.
“‘Kau…menyakitiku!” tak terasa air mata ini semakain deras. emosiku tak terbendung menahan semuanya. “kau seperti seorang perampok yang hanya menjarah semua hasil keringatku! Kau tak punya perasaan!” aku menangis sejadi-jadinya.
“Diam! Aku pusing, Tirai…!” dia menghampiriku.
Malam itu dia seperti kerasukan setan. Tanpa tedeng aling-aling bagian Leher belakangku dicekik seperti seekor kucing. Dia mendorongku secara paksa.
“Mau berisik lagi hah?” Gertaknya seraya membanting pintu.
Apakah ini mimpi? Bukan, ini bukan mimpi. Memang, Dia tak punya hati. Dulu romantis bagaimana cara mencintai. Sekarang, dia orang pertama kubenci! Aku benci kamu, Rasyan!
~~~
Setelah kejadian itu, Aku sering menginap beberapa hari di rumah orang tuaku. Berharap dia datang menjemput. Dan inilah puncaknya aku mengutuki diriku sendiri. Betapa bodohnya aku memaafkan dia. Betapa bodohnya aku yang terus setia. Sebuah pesan dari teman Rasyan di facebook seperti kilatan petir menyambar kepalaku.
Fahri: Teh Tirai tadi saya melihat Rasyan membawa Tantri ke kontrakannya Teh Tirai “mumpung tidak ada istri” katanya. Maaf saya lancang, tapi saya sekedar memberi Informasi.
Sungguh aku mengutuki diriku. Saat ini yang bergumul hanyalah perasaan kecewa, sakit dan…benci. Rasyan! Jangan salahkan aku jika qpa yang kau lakukan saat ini terjadi padaku!
~~~
Embun Menguap, Kelu telah luluh.
Zrettt!zrettt!nada getar dari telpon Rasyan. Aku tak mengangkatnya.
“Dari si Biadab?” tanya laki-laki itu. Geliginya bergemeretak.
Aku mengangguk, “Aku lebih nyaman berada di sampingmu,Fan”
Dia menghampiri dan duduk di sebelahku. Degup jantungku seperti terbawa ombak. ubun-ubunku memanas memompa seluruh aliran darah. Nafas saling memburu alam nyata yang tak kunjung tiba. Jiwa seakan lupa siapa aku sebenarnya. Maaf Tuhan, saat ini aku sembuhkan luka…
*) Gambar di ambil dari Sini
Komentar Terbaru