TIDAK ADA MURID YANG BURUK, YANG ADA GURU YANG BURUK: REVIEW FILM HICKI (2018)

Menuntaskan sebuah film yang saya rasa menginspirasi. Ceritanya mengenai seorang perempuan, Naina Marthur (diperankan oleh Rani mukerji ) yang mengalami sindrom tourette (sebuah gangguan neurologis, yaitu ketika sambungan di otak longgar, akan mengalami kejutan). Film ini berdasarkan sebuah novel “Front of the Class” Karya Brad Cohen & Lysa Wysocky. Novel tersebut juga pernah difilmkan oleh amerika pada tahun 2008 dengan judul yang sama besutan sutradara Peter Werner, dan diperankan oleh  James Wolk.

COVER.jpg

Benang merah ceritanya tidak jauh berbeda, namun versi india ini diperanan oleh seorang perempuan yaitu Naina Marthur yang merupakan seorang magister sempat ditolak oleh beberapa sekolah  karena sindrom tourette-nya.  Memang sejak kecil Naina mengalami hal ini, hingga beberapa guru dan temannya di kelas merasa terganggu dalam proses belajar-mengajar. Beberapa guru pun menganjurkannya untuk kesekolah berkebutuhan khusus. Namun hal tersebut tidak disetjui oleh ibunya.

Salah satu alasan Naina ingin menjadi guru sebenarnya sederhana, saat Naina kecil,  ada pertunjukan kreasi seni di sekolah mereka, tentunya Naina hadir turut menyaksikan. Dan bisa dibayangkan bagaimana suara yang keluar dari Naina kecil menganggu konsetrasi pemain drama yang ada di depan. Hinga akhrnya ia dipanggil oleh kepala sekolah naik ke panggung. Dalam adegan tersebut kepala sekolah bertanya mengapa seperti itu, dan Naina kecil menjawab tentang  sindrom tourette-nya. Kepala sekolah tersebut bertanya “apa yang harus kami lakukan untukmu?” Naina kecil menjawab bahwa ia ingin diterima seperti anak yang laiinnya di sekolah mereka.  Akhirnya guru tersebut berjanji untuk menjadikan Naina kecil sama seperti siswa yang lain.

Naina akhirnya diterima menjadi guru di st. Notker’s, sekolah pavoritwalaupun awalnya kepala sekolah dan kesiswaan sempat meragukan kondisi Naina. singkat cerita, naina diberikan kepercayaan untuk mengajar kelas 9 f, di mana kelas ini memang tidak ada guru yang bertahan lama karena tidak bisa “menaklukan” muridnya.Aanak 9f ini latar belakang keluarganya miskin, masuknya mereka ke di st. Notker’s karena lahan sekolah mereka sengketa, dengan terpaksa sekolah tersebut menerimanya karena aturan negara dan lokasi  berada dekat.

Kabar naina mengajar di sekolah ersebut pun sampai ke telinga mereka, dan mereka mengadadakantaruhan untuk membuat hengkang guru tersebut. Konflik terjadi ketika Naina mulai mengajar, para murid bekerja sama untuk membuat sang guru itu tidak betah hingga membuat guru tersebut terluka secara psikis. Namun, naina membuat kepakatan dan tidak menyerah dengan ulah mereka.

1.png

Ulah mereka menjahili Naina di kelas karena membuat cairan nitrogen hingga meledak terdengar oleh kesiswaan dan dilaporkan kepada kepala sekolah hingga akhirnya mereka dipanggil. Dari sana, Naina mencoba membela bahwasannya apa yang mereka lakukan sudah bagus hanya saja mereka belum tahu menyalurkannya dengan benar. Mulai dari sinilah mereka berpikir mengapa guru tersebut membelanya. Hingga akhirnya cerita ke cerita, naina bisa menaklukan mereka dengan mengajar penuh cinta. Anak-anak kelas 9 f yang awalnya tertinggal dari sisi akademik akhirnya bisa menyaingi anak-anak kelas 9 A yang notabene anak-anak yang cerdas.

Saya rasa cerita  Brad Cohen & Lysa Wysocky versi india ini lebih menyentuh di banding versi amerika. Sangat menginspirasi, nge-charge nih buat kamu seorang guru,  bahwa apa yang seorang guru sampaikan dengan hati, pasti meresat dan terpahat. Baik itu ucapan dan perbuatan.

3.jpg

Kemudian, memang tugas guru bukan sekadar menyampaikan materi yang ada dikelas, melainkan mempersiapkan mereka menghadapi masa depan.

1

Silakan tonton. Semoga bermanfaat.

Tukang Bensin dan Sebuah Doa

Takjub!
Itulah kesan pertama saat saya membuka tanki bensin di pom mini berukuran dua kali tiga itu. Pasalnya, saya baru menemukan pedagang yang setiap bertemu pelangganya mengucapkan Bismillahirrahmanirrahim. Berkah rezekina, lancar urusanna, berkah hasilna.” Setelah selesai, dia mengucapkan “Alhamdulillah. Ditampi artosna.”

 

Namanya Mas Hadi, tukang bensin dekat rumah yang jaraknya kurang lebih 1 km. Usianya 50 tahun. Dua atau tiga kali dalam seminggu setiap pagi saya mengisi ke Mas Hadi. Tidak banyak yang saya tahu mengenai perjalanan hidupnya, tapi yang jelas, awalnya dia adalah seorang penambal ban.

 

Sekitar pertengahan 2013 saya pindah rumah. Sempat ban motor saya bocor. Saat itu belum mengetahui di mana letak tukang tambal ban. Hingga bertanya sana-sini akhirnya tiba salah satu tambal ban Mas Hadi ini.

 

Memang menarik dari pria paruh baya yang rambutnya didominasi warna putih ini, membuka ban pun taklepas dari doa itu. Dua kali saya pernah tambal ban di Mas Hadi. selebihnya, saya hanya membeli bensin. karena selang beberapa waktu, dia pun mulai memajang beberapa botol bensin eceran. Di beberapa botol Mas Hadi memasang harga yang terbuat dari potongan kardus bertuliskan spidol dari Rp. 5000 sampai Rp. 7000.

Satu hal yang tidak berubah yaitu doa yang sama. Jika saja kamu datang dan membuka tutup tanki bensin, maka doa-doa itu langsung terucap kepadamu.

 

Waktu bergulir, Mas Hadi mempunyai dua mesin pom mini. Namun beberapa botol masih dipajangnya. Masih tidak berubah. Doa yang ia ucapkan kepada pelangganya masih seperti dulu. “Bismillahirrahmanirrahim. Berkah rezekina, lancar urusanna, berkah hasilna.”

                                                                           —***—
Jika doa adalah sebuah kebaikan, maka takada salahnya kita menebar kebaikan untuk semua orang.
Huwallahua’lam.

​JALAN UNTUK GENERASI PELOPOR PERUBAHAN

Oleh; Mufti Fauzi Rahman

Judul : Jatuh 7 Kali Bangkit 8 Kali

Penulis : G.sutarto & J. Sumardianta

Cetakan     : Pertama, Maret 2017

Halaman : xxxvi + 288 Hal.

ISBN : 978-602-291-373-3
Menjalani hidup yang tidak sesuai keinginan memang pada akhirnya menjadi sebuah pilihan. Bagi sebagian orang, yang menjadikan hidupnya sebagai sebuah pembelajaran, maka hal tersebut adalah sebuah proses menanam benih kebahagiaan. Merubah keterbatasan menjadi sebuah pemicu untuk mengejar takdir kebahagiaan memang tidak selalu mulus. Namun, di akhir, seorang pejuang akan tahu arti ketidakmulusan tersebut adalah pembelajaran mental.

Adalah Sutarto adalah seorang anak desa yang mempunyai harapan dan cita-cita untuk menjadi seorang terdidik dan pendidik. Di kampungnya, pada masa itu, pendidikan belum menjadi sebuah kebutuhan. Di saat  Sutarto memilih pendidikan sebagai prioritas, teman sebayanya masih terjebak dalam budaya menikah usia dini. Sutarto mempunyai prinsip sendiri mengenai pentingnya pendidikan, bahwa hanya sekolah yang bisa mengubah nasib. 

Pada tahun 1970, Sutarto mengenyam bangku Sekolah Dasar. Di desanya, Karang anyar- Jawa tengah belum ada fasilitas pendidikan yang memadai, seperti kelas terlebih bangunan sekolah. Proses belajar-mengajar dilakukan di rumah-rumah tokoh masyarakat setempat seperti rumah kepala desa dan sekretaris desa. Namun hal tersebut tidak menjadi kendala bagi Sutarto untuk terus bersekolah. Bahkan, dari sekolah ia menemukan pemicu cita-citanya untuk terus melanjutkan ke jenjang selanjutnya. “ Hasil 

Saat memasuki masa pendaftaran SMP, Sutarto harus menelan pil pahit sendiri. Ia harus menyelsaikan persyaratan dulu agar bisa masuk ke SMP. Berjarak 10 km dari rumahnya, ia terpaksa harus bulak-balik melengkapi persyaratan. Bapaknya tidak bisa berbuat banyak karena hal tersebut keinginan Sutarto. Mau sekolah atau tidak terserah Sutarto.  Sebagai seorang remaja yang di desanya belum ada yang masuk SMP, ia senang karena akhirnya bisa masuk SMP. Di sekolah jenjang menengah ini, Sutarto pun banyak diajari berbagai macam hal. Termasuk soft skill. Sutarto diajari membuat prakarya berupa membuat sabun detergen. Kemampuan tersebut ia jadikan sebuah kesempatan untuk berbisnis kecil-kecilan dengan menjual ke ibu-ibu dusun. Dengan bungkusan  kecil, ia akhirnya banyak mendapat keuntungan. Termasuk keuntungan untuk tidak membeli sabun.

 Selepas berakhir masa SMA, orangtuanya mendaftarkan Sutarto masuk SPG (sekolah pendidikan Guru). Sayangnya, Sutarto enggan dimasukan ke sekolah tersebut. Orangtuanya menyarankan suapaya selepas SPG, ia akan langsung mengajar. Namun, Ia  bersikukuh tetap memilih SMA. 

Sutarto punya prinsip, ia ingin Menjadi seorang Transformer (pelopor perubahan) bukan menjadi transmiter (penerus perubahan) (Hal: 66). Dan dari prinsip inilah, ia terus-menerus belajar hingga perguruan tinggi. Kuliah di universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta. Berbekal dengan naluri bisnisnya, ia menggunakan kesempatan dekat dosen untuk menawarkan jasa. Ia menajdi supllier material bahan bangunan. Menawarkan harga murah dari toko lain saat salahsatu dosennya ingin membangun rumah. Keuntungan tersebut ia gunakan sebagai tambahan biaya kuliah.

Masih banyak sekali cerita lain yang tidak kalah menarik nan menginspirasi dalam bukunya G. Sutarto dan J.Sumardianta seperti kepergian ayah Sutarto, kemalangan yang berbuah manis: kelaparan,  kehidupan rumah tangga Sutarto dan lain sebagainya. Kisah yang diramu oleh J. Sumardianta menjadikan ceritanya mengalir. Bahasa renyah dan menggugah karena setiap bab di sisipi dengan cerita-cerita motivasi populer sebagai suplemen bagi pembaca. Sedikit masukan pula untuk buku ini, beberapa bagian kutipan penting akan lebih menarik dan gampang diingat jika dalam lembaran terpisah. 

Banyak pelajaran yang bisa diambil dari buku ini. Bagi Anda yang masih berkeluh kesah dengan apa yang terjadi saat ini, buku ini cocok sebagai obat. Pengalaman yang penulis ramu, memperkaya nilai-nilai kebijkasanaan hidup.

Review Film “Genius” (2016)

genius-2016-52507Thomas wolfe atau yang akrab di panggil Thom adalah  seorang penulis yang belum begitu terkenal karena  Naskahnya ditolak  beberapa penerbit di Amerika. Thom,  datang kepada sebuah penerbit besar yang mempunyai editor, Maxwel Perkins (colin Firth),  yang begitu brilian karena turut turun tangan pada karya sastrwawan F Scott. Fitzgerald dan Ernest Hemingway. Melihat kesungguhan Thom, Sang editorn T.n Perkins tertarik dengan naskah tersebut dan berniat untuk menerbitkan karyanya. Sebagai seorang editor, Perkins  menyuntingnya dan dipangkas sekitar 300 halaman. Termasuk mengubah judul bukunya. Awalnya Thom enggan menerima hal tersebut, pada akhirnya dia mengerti bahwa hal tersebut harus dilakukan.

 

 

“Tom, yang aku mau hanya menyampaikan karyamu kepada publik, dalam bentuk terbaik. Tugasku, tugasku satu-satunya yaitu memberikan buku bagus kepada para pembaca.”

1

2

Dengan beberapa polesan dan kegeniusan Perkins dalam menangani naskah, buku tersebut akhirnya berjudul look homeward, Angeldan laku di pasaran sekitar 15 ribu copy dalam beberapa bulan.

Takhanya sampai di buku pertama, kreatifitas Thom ditantang di Naskah kedua, yang nantinya berjudul “ Of time and the River”. Tebalnya 5000 halaman dan tentunya  Max Perkins harus menyuntingnya untuk disajikan kepada pembaca. Hubungan antara penulis dan editor ini begitu intens memoles naskah tersebut agar matang, penyuntingan dimulai diksi, plot dan sebagainya.  akhirnya buku tersebut menjadi Best Seller.

Film  berlatar New York 1929  memang banyak menampilkan hubungan profesionalitas antara  editor dan Penulis. Film ini cocok bagi rekan-rekan yang mencintai literatur. Khusunya bagaimana sebuah buku yang berkualitas lahir dan menjadi fenomenal.

Selamat menonton.

(MAQ)

 

Nikah (pake) Muda Satu, Pak!

Jujur aja, pengen nikah ya he? ayolah jangan malu-malu. Mungkin jawabannya bervariasi. Mau tapi nunggu dulu sukses, nunggu dulu lulus kuliah, nuggu dulu kakak saya,  dan banyak lagi. Udah nikah?syukur deh kalau udah

Itu sih pilihan, dan sobat-sobat yang tahu alasannya sendiri. Tapi untuk saya  pribadi, mengambil keputusan nikah itu tertulis begitu saja di dalam target. Di usia yang sangat muda,  21 tahun saya  sudah menikah. Tanpa paksaan, tanpa  apapun pokoknya sudah bulat waktu itu pengen nikah. Karena biasanya nikah muda identik dengan married by accident (MBA). Naudzubillahimindzalik. tapi beneran lho, nggak hanya sekali pernyataan MBA terlontar pada saya ketika orang yang  duduk bersebelahan di Bis kota

“ke mana, De?” Tanya seorang Bapak

“ke Bogor,Pak”

“ Bogor, nya di mana?’

“Sentul, Pak”

“ Main?”

“Enggak , mengunjungi istri”

“Istri?” Dia mengernyitkan kening “ udah  nikah ya?” lanjutnya

“sudah. Kenapa gitu, pak”

“enggak, kirain masih sekolah. Masih kelihatan muda “

Emang gua baby face. Batinku dalam hati

Gambar Koleksi Pribadi

Gambar Koleksi Pribadi

Ceritanya Istri saya kuliah di Bogor,  hal itu memang sempat jadi pertimbangan apakah saya yakin dengan keputusan itu. Bukankah setelah menikah itu hidup bersama dalam rumah tangga agar terjalin komunikasi yang baik.  Sempat saya berpikir istri untuk kuliah di bandung, tapi amat disayangkan karena sudah satu tahun menjalani masa perkuliahan dan istripun sudah cocok dengan perkuliahannya. Saya tidak bisa memaksa, akhirnya saya bertawakal dan siap menjalani apapun.

Untuk bab munakahat (pernikahan) memang sudah saya  target. Waktu itu saya targetkan semester 6 saya udah nikah. Alhamdulilah diakhir semester 6 ternyata allah mengabulkan do’a saya.  Pernikahan bukanlah jalan akhir dari sebuah keputusan, justru permulaan mencapai kehidupan itu –sejauh yang saya alami- dari pernikahan.

Alhamdulilah Ketika mengajukan permintaan tersebut orang tua mengijinkan. Walaupun beberapa tanggapan dari beberapa saudara “ah, pentil keneh”  tapi tekad saya sudah bulat untuk menikah. Karena saya yakin berada dijalan yang benar.

Intinya saya meyakinkan diri bahwa “Jangan takut,”. Karena  Masalah rizki udah ada Allah yang ngatur. Asalkan jangan main-main aja. Serius. Kalau setengah-setengah segera mantapkan hati ke allah.  Saya juga pernah mengalami beberapa kehawatiran dan ketakutan. Tapi kalau niatnya bener pengen ibadah, insya Allah mudah.

Saya pernah diingatkan oleh sahabat saya yang sudah nikah duluan di usia muda, beliau bilang bahwa menikah kalau niatnya buat  HANYA sekadar seks maka akan dipastikan  cepet bosan. Tapi kalau buat  ibadah segalanya akan berbuah indah.

Janji Allah dan Rosul itu enggak pernah  ingkar, sob. “Dan nikahilah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.”

Terus berdoa dan meminta kebaikan untuk dimudahkan segala urusan kepada Allah secara kontinyu, jangan terputus. Bila ingin mendapatkan pasangan yang baik dan berkualitas tinggal baguskan dulu kualitas kita sendiri. sebagaimana firman Allah dalam surat AnNur:26: “Perempuan-perempuan yang keji untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji untuk perempuan-perempuan yang keji (pula), sedangkan perempuan-perempuan yang baik untuk laki-laki yang baik, dan laki-laki yang baik untuk perempuan-perempuan yang baik (pula)…”.

so, itu tergantung sobat-sobat. Tapi kalau saya, buat apa ditunda kalau sekarang bisa.

Sulit Mencari Jodoh

saya enggak bisa memberikan tips bagaimana supaya mudah mendapat jodoh. tapi setidaknya kita mengenal hadis Rosululloh bersabda: “Wanita itu dinikahi karena empat perkara yaitu karena hartanya, karena keturunannya, karena kecantikannya, dan karena agamanya. Maka pilihlah olehmu wanita yang punya agama, engkau akan beruntung.” (HR. Al-Bukhari no. 5090 dan Muslim no. 1466

empat kriteria yang ada dalam hadis tersebut  bukan berarti semuanya harus and  kudu dicari dan dikumpulkan. Mana aja yang ada, tapi sebaiknya agama yang utama.

Hal penting bagi kita tiada lain hanya terus mendekatkan diri pada Allah. Karena Dia maha yang memberi segalanya. Jodoh kita milik Allah, maka kepada siapa lagi kita meminta.  Ustadz yusuf Mansur pernah bilang jika kita punya keinginan benerin dulu dari solat. Dengan kata lain, apakah sudah rutin solat wajib dengan  berjamaah, dhuha, tahajud dan solat sunnah lainnya. Enggak percaya,, cobain deh. rasakan perubahan dan kemudahannya dari hari ke hari. Dan jangan lupa banyakin sodakoh. Cobain deh pokoknya.

Semoga bermanfaat!

***

“Diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenang kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”. (QS : Ar Rum [30] :21).

 

Terimakasih Abah*)

Singapore Changi Airport, Menuju National Library Board.

Mulutku lebih rapat dari yang kuperkirakan, aku tahu akan menjadi hal bodoh karena hanya menambah beban pikiran Abah.  Tapi, aku coba berbicara padanya barangkali untuk sekali saja Abah punya sisa uang hasil jualannya. Setidaknya Abah mau memaksakan mencari atau meminjamkan  untukku.

“Bah…” Aku menyimpan tas gendongku setelah mengucapkan salam. Seragam Putih-Merah masih kukenankan. Irama ketok-ketok beradu dari palu, paku dan pintu gubuk kami yang ditambal Abah. Sesekali kuusap peluh sebutir jagung di keningku.  Untuk masalah ini degup jantung lebih kencang tenimbang  aku mematahkan alat pancing Abah. Ketika itu ada seekor tikus yang masuk ke dalam rumah, aku mencari benda yang terdekat denganku untuk  memukul seekor binatang yang selalu mencuri jatah makananku. Dengan penuh dendam aku memburunya. Sialnya, aku taksadar bahwa benda patah yang aku pegang adalah alat pancing yang selalu digunakan untuk mata pencaharian kami. Dan yang membuatku makin masygul adalah tikus itu berhasil kabur.  Abah hanya diam ketika mengetahui hal itu, tapi aku tahu kalau dia sedang marah.

“Bah, besok ada karyawisata ke museum kota”.  Katakku sambil menunduk malu serta iba .

Abah tertahan sejenak ketika aku selesai berbicara. Palu dan paku masih dipegangnya. Taklama setelah itu dengan tenang dia meletakan perkakasnya. Dia duduk disampingku dan memberikan air teh di cangkir yang terbuat dari batok kelapa.

“Kau ingin ikut, Nak?” Tanyanya setelah aku meneguk air. Aku mengangguk dengan sedikit GEER yang mendera. Pasalnya takbiasa Abah menannyaiku seperti itu.

Aku melirik Abah yang  menatap kosong ke depan. Berharap beberapa kalimat yang akan membuatku senang keluar dari mulut Abah.

Sing sabar, tapi dina hiji poe…” katanya dengan tenang “Mun hidep boga pangabisa, mangka hidep bakal bisa nyaba kamana-mana. Bersabarlah,suatu hari, jika kaupunya kemampuan (ilmu bermanfaat) maka kaubisa pergi ke mana pun.” Abah menatapku

Aku diam sejenak. Betulkan, aku hanya membuatnya menambah beban. Takbisa dipungkiri ada kecewa yang aku rasakan. Untuk kesekian kalinya aku harus menelan pil pahit ketidakikutsertaanku berkayawisata.

“Percayalah, Nak” lanjutnya sembari mengusap rambut. “Aku yakin kau akan menjadi manusia yang dibutuhkan setiap orang karena orang membutuhkanmu, karena ilmumu, karena sikapmu” Ia memelukku dengan lembut. Mencium kepalaku tepat di atas ubun-ubun. Ada sesuatu merambat hebat ke dalam hati dan berbulir air mata pun mengalir. Seketika itu kekecewaan yang aku rasakan tiba-tiba terhapus ketika airmata itu dihapus Abah.

“Satu lagi, Nak…” lelaki paru baya itu tersenyum “Tong hirup ciga kurupuk, tarik kadanguna, saeutik gizina. Jangan hidup seperti kerupuk, keras bunyi sedikit gizi” Entahlah, belum sempat kuserap makna kata terakhir itu. Pelukan itu terlalu berharga untuk dilepaskan

***

                “Sorry, Sir” kata supir yang salah satu panitia penjemput mengagetkanku.

“oya, gimana?” tanyaku sambil meminta maaf.

“Anda melamun , ya, Sir.” Supir itu tersenyum, “kita sudah sampai”

“oke Terimakasih, Ya.”

“sama-sama”  balasnya dengan ramah.

Beberapa panitia penyelenggara acara sudah ada diluar dan menyambutku dengan hangat. Kesekian kalinya aku mengisi seminar motivasi. Dan kali ini, ribuan peserta hadir di seminar internationalku. Terimakasih ya Allah. Terimakasih Abah.

 

*)Terinspirasi dari status Tatan Ahmad Santana di sini

 

Maaf Tuhan, aku sembuhkan luka

September, 2012

Embun dan kelu…

“Apa yang sedang kaupikirkan,Sayang?” suara laki-laki mendesis ke telingaku. Aku terkesiap. Sejurus  aku terus mengawasi embun yang menjalari dedaunan di balik jendela. Terasa bibirnya mencium rambut. Aroma minuman hangat menelisik hidung.  Pandanganku beralih padanya.  Dia mendekatkan secangkir  Cappucino padaku. Aku menyeruputnya dengan perlahan .

“Cukup nikmat untuk mengawali pagi ini” ujarnya. Aku mengangkat bahu.

“Apa yang sedang kaupikirkan?”  tanyanya sekali lagi. Aku menelan ludah. “kau masih memikirkan lelaki keji itu?” Nafasnya sedikit terengah sedang memburu jawabanku. Wajahnya terlihat kecut.

“Sudahlah, aku tak ingin membicarakan hal itu lagi! Aku di sini mencoba menyembuhkan lukaku,” jawabku getir “Setidaknya untuk sementara waktu”

“Baiklah, aku berangkat kerja dulu. Tinggalah di sini sampai kapan pun kaumau. Besok aku libur. Aku ingin mengajakmu ke sebuah tempat.” Dia membelai rambutku dan menyelipkan beberapa helai rambut di belakang  telinga. “Hanya laki-laki buta  yang membuatmu terluka, Tirai!” Tangannya mengusap lembut pipiku.

Dia berlalu dengan gerung motor sportnya. Rasa ngilu pipiku berubah menjadi beberapa gambar luka kehidupan rumah tangga yang tak jelas bagaimana ujungnya. Ah, Senin Pagi yang menjemukan.

~~~

Desember, 2008

“Kalian sekarang sudah lulus pesantren. Tak baik bagi kalian bersama-sama tanpa ada ikatan apapun” ujar seorang pria tua. Lengannya memegang tongkat yang terbuat dari rotan.

“Apalagi kalau pria suka menginap di rumah perempuan yang bukan muhrimnya. Bisa menimbulkan fitnah!” jelas seorang perempuan di sebelah lelaki tadi. Aku dan Rasyan bersitatap. Sudah bisa kutebak ke mana arah pembicaraan mereka.

“Tirai… Nenek dan kakek sudah berpesan pada Ibumu agar kalian segera dinikahkan. Ibumu setuju. Dan kau Rasyan, segeralah mengajukan lamaranmu kepada Tirai.

Degh. aku menelan ludah. Menikah? siapa yang tak ingin menikah. Menikah  usia 18 tahun ini, masih banyak yang ingin aku raih. Apalagi Rasyan masih 19 tahun. Kematangan serta kedewasaan belum selebat janggutnya. Aku juga masih ingin meneruskan kuliah, masih ingin mengembangkan karir, ingin….

“Ya, Kek. Saya pun berpikir begitu. Mudah-mudahan dalam waktu dekat ini saya bisa segera mengajukan lamaran pada Tirai” laki-laki berambut ikal itu mengaminkan seraya tersenyum getir.

Terlampau banyak mengundang persepsi negatif sejak pertama aku menjalin hubungan dengan  Rasyan. Dari semasa Madrasah Aliyah (setingkat SMA), yang belum genap satu bulan aku lulus, sering jadi bulan-bulanan para ustadz pesantren. Aku dan Rasyan memang dianggap melanggar aturan pesantren yang tak membolehkan pacaran. Tapi Aku bukan mau mencari sensasi, aku tak bisa membohongi perasaan. Aku juga ingin seperti pasangan pada umumnya, jalan-jalan, malam minggu nonton dan…versi anak muda lah pokoknya.

Menikah? gambaran pernikahan perceraian orang tuaku masih menggelayut sampai saat ini. Ah, Entahlah, aku benci hal jelek dalam rumah tangga.

Januari, 2009

            Aku akui ingin menikah. memang tak mudah untuk menerima keputusan itu, bagiku.  Namun, keraguan itu sedikit demi sedikit menguap setelah dijejali semacam penguatan dari sanak saudara.

Ya,  Bulan ini  aku menikah. Resepsi pernikahan yang sederhana.  Beberapa hiburan musik dan menu untuk 3000 undangan turut menyederhanakan resepsi ini. Padahal aku sudah berpesan ke pada orang tuaku dan calon mertua untuk tidak menggelar resepsi pernikahan. “Resepsi ini kan satu kali untuk selamanya. Apalagi kalian anak pertama dan anak satu-satunya” kata mereka. Aku membatu.

Juli 2009

Enam bulan masa mengarungi kebahagiaan dengan Rasyan masih penuh dengan kasih sayang. Namun, badai bisa kapan saja menghadang  bahtera rumah tangga, tepat enam bulan setengah ada yang berbeda dengan dirinya. Entah sadar atau tidak akan posisinya sekarang adalah seorang suami yang wajib menafkahi keluarganya. Sengaja di awal aku tidak mengungkapkannya karena aku pikir dia akan tahu tugas apa yang harus diemban seorang suami. Tapi akhirnya harus kukatakan bahwa uang “kas” sudah mulai menipis

“Apakah tidak lebih baik jika kau mencari pekerjaan?”

“Besok aku coba bilang ke Papa. Mungkin ada lowongan jadi pengajar di sekolahnya,” ucapnya tenang, sementara mulutnya membulatkankan asap rokok.

Baru besok, kenapa tidak dari semenjak enam bulan lalu.

~~~

Aku bersyukur Rasyan mengajar. Takmasalah mendapat  seratus ribu perbulan walaupun belum cukup untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Namun Aku takrela jika uang itu di pakainya membeli rokok.  Terlebih dia tak pernah bertanya atau memperhatikan kebutuhan pokok.  Untungnya sedikit pun dia tidak  tahu ibuku memberikan uang saku setiap bulannya.

“Aku akan berjualan di depan sekolah Papa” Ujarku pada Rasyan

Dia mengkerutkan kening, “Berjualan apa?”

“Makanan ringan anak-anak lah”

Hanya mengangguk. Dia tak berkomentar banyak. Setiap harinya semakin akrab dengan asap rokok.  Akan luar biasa marah jika  Aku berani melarangnya.

~~~

            “Tirai…! Ada uang nggak?”aku kaget baru saja membereskan daganganku. Dia membuka kotak uang hasil jualanku “Aku ingin rokok!”

Aku lantas memberikan uang tiga puluh ribu. Alih-alih membantuku membereskan dagangan ini, dengan cepat ia melajukan motornya. Rasyan sudah tidak mengajar  lagi selepas aku berjualan di depan sekolah SD kencana. “Tidak bisa mengatur kelas” katanya. Aku hanya bisa menghela nafas. Memberi masukan sebagus apapun padanya tak akan berarti.

Januari, 2011

Bisa disebut inilah yang spesial ulang tahun usia pernikahanku. Sayangnya, bukan sesuatu yang membuatku bahagia melainkan murka yang melanda. Dia buka Rasyan yang dulu kukenal. Selama berbulan bulan aku mencoba bersabar dengan segala kepahitan yang ada. Samudera cinta yang dulu dia ungkapkan kini sudah mengering. Bukan saja tak peduli dengan Istri. Dia mulai berani keras terhadapku.  Apalagi sejak dikuliahkan oleh mertuaku, semakin membatin rasanya hidup ini.

Sekarang aku tidak berjualan lagi. Aku kerja di sebuah pabrik tekstil. Itu pun atas dasar permintaan mertuaku yang serta merta senang saat aku menyetujuinya.  Kadang aku merasa adil tak berpihak, dia kuliah sedangkan aku kerja. Biarlah semoga kuliahnya membuahkan hasil untuk masa depan. Aku segera  menepis.

~~~

             Kerja di pabrik tekstil dengan waktu 12 jam memang menguras waktu dan tenaga. Berharap akan ada perubahan setelah Rasyan menyelesaikan kuliahnya. Itu pula hal yang tak menyurutkan rasa cintaku pada Rasyan. Namun, Entah setan apa yang merasukinya saat ini. Sikapnya yang semakin hari semakin menimbulkan besar kecurigaanku. Jangankan kata cinta, hanya menatap mata saja dia enggan. Setiap mengangkat telp atau sekedar smsan dengan temannya, Rasyan menjauhkan pandangan dariku.  Mungkinkah dia sudah bosan denganku? Mungkikah dia memiliki kekasih lagi?

“Jadi istri jangan suudzon pada suami!”ungkapnya saat aku menanyakan mengapa dia selalu sms-an sendiri dan tak mengijinkan sedikit pun melihatnya. Jika pun mengijinkan, inbox-outbox sudah kosong.

“Aku lihat no HP mu kebanyakan no cewek semua, A?” aku memancing lagi.

“Emangnya gue homo ngumpulin no cowok!”

“Kau tahu akhir-akhir ini aku sering menangis?” air mataku hendak menjalari pipi. Dia dengan tenang memainkan jemarinya di atas keypad HP.

Diem, Ah. Udah malam, Rai. Tidur sana!”

“ Bukan gitu, Aa. Sikapmu semakin hari seperti membenciku. Apakah kaupunya kekasih lain?”

“Emang salah kalau gua sekedar suka?”

“kau suamiku, A. Buat apa  kau menikahiku jika sekarang aku hanya Benalu. Aku tak bissa menahan hasratmu untuk perempuan lain. Tapi ijab-qobul yang dulu kau ucapkan hanyalah omong kosong.

Dia  masih bersikap tak peduli.

“‘Kau…menyakitiku!” tak terasa air mata ini semakain deras. emosiku tak terbendung menahan semuanya.  “kau seperti seorang perampok yang hanya menjarah semua hasil keringatku! Kau tak punya perasaan!”  aku menangis sejadi-jadinya.

“Diam! Aku pusing, Tirai…!” dia menghampiriku.

Malam itu dia seperti kerasukan setan. Tanpa tedeng aling-aling bagian Leher belakangku dicekik seperti seekor kucing. Dia mendorongku secara paksa.

“Mau berisik lagi hah?” Gertaknya seraya membanting pintu.

Apakah ini mimpi? Bukan, ini bukan mimpi. Memang,  Dia tak punya hati. Dulu romantis bagaimana cara mencintai.  Sekarang, dia orang pertama kubenci! Aku benci kamu, Rasyan!

~~~

            Setelah kejadian itu, Aku sering menginap beberapa hari di rumah orang tuaku. Berharap dia datang menjemput. Dan inilah puncaknya aku mengutuki diriku sendiri. Betapa bodohnya aku memaafkan dia. Betapa bodohnya aku yang terus setia. Sebuah pesan dari teman Rasyan di facebook  seperti kilatan petir menyambar kepalaku.

Fahri: Teh Tirai tadi saya melihat Rasyan membawa Tantri ke kontrakannya Teh Tirai “mumpung tidak ada istri” katanya. Maaf saya lancang, tapi saya sekedar memberi Informasi.

Sungguh aku mengutuki diriku. Saat ini yang bergumul hanyalah perasaan kecewa, sakit dan…benci. Rasyan! Jangan salahkan aku jika qpa yang kau lakukan saat ini  terjadi padaku!

~~~

Embun Menguap, Kelu telah luluh.

Zrettt!zrettt!nada getar dari telpon Rasyan. Aku tak mengangkatnya.

“Dari si Biadab?” tanya laki-laki itu. Geliginya bergemeretak.

Aku mengangguk, “Aku lebih nyaman berada di sampingmu,Fan”

Dia menghampiri dan duduk di sebelahku. Degup jantungku seperti terbawa ombak. ubun-ubunku memanas memompa seluruh aliran darah. Nafas saling memburu alam nyata yang tak kunjung tiba. Jiwa seakan lupa siapa aku sebenarnya.  Maaf Tuhan, saat ini aku sembuhkan luka…

 

*) Gambar di ambil dari Sini

SEPATU

Dugaanku keliru. Kukira dia hanya  seorang Mahasiswa kaya, pintar,  yang hanya mementingkan nilai-nilai akademik dan tak tahu arti peduli terhadap sesama. Dugaan itu membuatku malu sendiri. Aku memang tidak dekat dengan Rudi. Entahlah, mungkin gengsi atau apalah. Hingga akhirnya satu kejadian menyadarkanku dari  sikapku yang takbaik ini.

            Hari itu tepat hari Jum’at. Percaya atau tidak, perkuliahanku hari Jum’at memang selalu mulai dari dari jam dua siang hingga jam delapan malam. Dan di jam tersebut kereta api terakhir yang harus kutumpangi menuju pulang. Makanya, aku selalu pulang lebih cepat sebelum perkuliahan selesai. Jika tidak begitu, ongkos naik kereta satu minggu mungkin terbabat habis untuk satu kali ongkos naik mobil Elp.

Biasanya aku berhasil tiba di stasiun sebelum kereta datang.  Untungnya jarak antara kampus dan stasiun hanya memerlukan lima menit untuk berlari dengan mengambil jalan alternatif Cibadak diteruskan ke jalan Dulatif. (Tidak terlalu membuat semua orang di dalam gerbong menutup hidungnya karena bau keringatku.)

Sialnya hari itu aku ketinggalan kereta. Entahlah, waktu itu apakah aku yang terlalu lamban berlari atau kereta yang terlalu cepat datang. Padahal aku sudah berlari dengan kecepatan seperti biasa.

Aku sempat bingung karena mungkin ongkos untuk naik kendaraan lain tidak akan cukup. Akhirnya aku kembali ke kampus dan mencoba untuk tidur di mesjid  malam itu.

Di kampus beberapa temanku sudah pulang. Rudi yang hendak bersiap menyalakan motornya melihatku.

“Ayyash, kamu belum pulang?”  tanya Rudi

“ emm, belum Rud. Saya ketinggalan kereta” jawabku agak malu

“Nggak naik mobil Elp?”

Aku menjawab seadanya. Ongkosku tidak akan cukup untuk naik mobil. Akhirnya Rudi mengajaku ke tempat tinggalnya di daerah Kopo. Awalnya aku menolak, tapi dipikir-pikir betul juga kata Rudi, besoknya ke kampus bisa bareng. Lumayan ngirit ongkos. Aku tersenyum dalam hati.

Aku ikut Rudi. Walaupun tidak memakai helm, namun perjalannku cukup aman di malam hari. kecuali malam minggu banyak razia. Dalam perjalanan   kami sempat saling bertanya walaupun apa yang aku dengar kadang tak terlalu jelas karena angin yang terlalu kencang dan apa yang Rudi katakan mungkin terhalang oleh helm. Beberapa menit kemudian aku sampai di rumahnya.

***

             Kadang kita terlalu underestimate kepada seseorang sebelum mengenal seseorang terlebih dahulu. Belum tahu seluk beluk apa pun mengenai seseorang karena terlampau egois bisa menimbulkan rasa iri dalam hati. Mungkin itu yang kualami terhadap Rudi yang ternyata dulunya satu nasib denganku sekarang. Di rumah ini orangtuanya baik. Jamuan makan yang membuatku memperbaiki gizi. Pepes ayam, Pepes Jamur, macam-macamlah pokoknya yang jarang kutemui di kosanku.

Selepas makan, aku tiduran meluruskan punggungku.

“Pempek Palembang?” tanyanya

“Ya, tapi bukan miliku. Aku hanya sebagai pegawai. Untungnya bossku peduli terhadap pendidikan. Jadi aku dikasih jadwal hanya empat hari, sisanya diganti sama temanku si Hendra.”

“Terus ongkos sehari-hari dari mana?” Tanyanya lagi

“Dari uang transport lima ribu perhari yang aku kumpulkan selama hari kerja.”

Dia mengangguk.

“aku iri sama kamu, Rud. Kau menguasai bahasa inggrismu dengan fasih.” Kataku

“Semua yang aku dapat memang tidak instan, Yash. Butuh waktu yang tidak sebentar untuk kamu menguasai sesuatu. Aku memang sejak SMP menekuni bahasa inggris. Dulu bahasa inggrisku masih blah, bleh, bloh seperti kamu. Dan aku juga mengalami rasa iri terhadap teman-teman yang lebih expert. Tapi iriku ini kupacu dengan terus belajar dan praktek. Dengan keberanian yang aku punya, aku ingin berubah, dan aku melawan ketakutanku”

Betul Juga.

“kita sudah menjalani satu semester. Tapi aku baru tahu siapa kamu. Keterlaluan.” Kataku

“udah, tidur sana.” Rudi menimpukku dengan bantal guling.

Malam ini penuh pelajaran berharga bagiku.

***

old-shoes

Sepatuku hilang!

“serius, Yash?” tanya Rudi

“Iya, tadi aku menyimpannya di sini” jawabku sambi mencari-cari di tempat sandal. Lalu aku mencarinya di balik pot-pot bunga  yang berdekatan dengan tempat sandal tadi. Aku pergi ke mesjid memakai sepatu karena tidak ada sandal lagi di tempat Rudi.

Rudi pun heran. Katannya baru kali ini ada sepatu yang hilang. Dan, akhirnya tidak ketemu. Itu satu-satunya lagi. Ya sudahlah.

Akhirnya Rudi menawarkan sandalnya untuk aku pakai.

***

            “gak usah, Rud? Aku jadi nggak enak”

Sebelum ke kampus Rudi mengajakku ke sebuah Mall. Entahlah, kukira dia mau membeli untuk keperluannya. Karena saat kutanya memang ada sesuatu yang harus ia beli. Tapi ternyata dia mengajaku ke sebuah Toko sepatu.

“tapi, Rud…”

“udah ambil aja mana yang kamu suka. Mumpung aku lagi ada rizki lebih.”

Aku diam sejenak. Mataku mengitari rak-rak toko itu. Beberapa harga terpampang. Dan tentunya aku memilih yang lebih murah.

“Yang itu?” Tanyanya

Aku mengangguk. Bukan aku tidak ingin yang lebih bagus. Tapi aku sadar diri. Aku tidak ingin memanfaatkan orang lain dalam kesusahanku.Aku mengucapkan banyak terimakasih kepadanya.

“nyantai, aja Bro”

Katanya tersenyum seraya menepuk pundakku.

5ef0e00a71973c7a4066affc1e2802c8 Bogor, 2013

*) Gambar diambil dari Sini

Bus dan Satu Cerita

Kerinduan bertemu anak-istri sudah tak tertahankan.Tapi belum separuh perjalanan pun jarak yang akan kutempuh. Masih menunggu bus yang baru-baru ini mulai beroperasi. Sudah hampir setengah jam aku menunggu bus  Elang-Cibiru yang menuju elang. Memang sih Selain murah dan pemberhentiannya tidak sembarangan, karena disediakan shelter, bus yang satu ini memang memerlukan kesabaran. Entahlah kenapa terasa lama, tapi jujur  sekarang aku baru mau mencoba armada tranportasi yang baru ini. Panas pula.

“Ayyash!” aku kaget. Seseorang tiba-tiba menepuk pundakku dari belakang. Aku berbalik badan.

“Tirai… kau, kukira siapa.” aku tersenyum.  Sedikit menelisik apakah benar Dia temanku.

“Nunggu bus Trans juga?” tanyaku

Tirai mengangguk.

“Nah akhirnya datang juga” Aku menunjuk bus tiga perempat berwarna biru itu, sudah mulai tampak berbelok di bunderan Cibiru.

Bus sudah berhenti di depan shelter. Kami naik diikuti beberapa orang yang sudah menunggu dari tadi. Di bus ini ada 17 tempat duduk  dan 36 pegangan untuk penumpang yang berdiri.  Untunglah masih tersisa tiga kursi kosong di bagian belakang. Aku mengambil dekat jendela. Tirai mengikutiku dan mengambil tempat duduk di sebelahku. Bus melaju siap melintas jalanan soekarno-hatta yang panjangnya 30 km ini.

***

“Kok Suamimu nggak ikut, Rai?” seketika Tirai terdiam.

Tirai memang salah seorang teman semasa pesantren. Dia  menikah dengan Rasyan yang masih satu kelas dengan kami. Mereka pacaran sejak Aliyyah (setingkat SMA).  Banyak gunjingan tentang hubungan mereka, karena di pesantren kami tidak diperbolehkan pacaran. Kecuali langsung saling menghalalkan alias menikah.Tapi kata mereka takkan menikah kecuali nanti lulus Aliyyah.

“ke laut” jawab Tirai dengan santai

“Maksudmu?” tanyaku lagi

“Aku sudah…bercerai”

“Ah, kau bercanda?”

“Tepat!” Dia tersenyum satir. “kautakkan percaya”

Sorry, Tirai.” Aku merasa menyesal menanyakan itu.

Dia mengangguk

“Nggak apa-apa, kok, nyantai aja”

Tidak ada kecocokan lagi diantara kita. Begitulah jawaban klise yang biasanya dilontarkan seseorang yang sudah bercerai saat ditanya tentang perceraian mereka. Tapi aku berusaha tak akan menanyakannya pada Tirai.

“Memang semuanya terlalu singkat, Yash” kata Tirai tiba-tiba. “Seperti kebanyakan pasangan lainnya, kehidupan kami selepas menikah sangat bahagia. Dan dunia milik berdua itu nyata adanya…pada saat itu” Lanjutnya

“Boleh tahu kenapa semuanya bisa terjadi?” tanyaku akhirnya tak tahan menahan penasaran.

“Semuanya kandas karena sebuah komunikasi yang tak sejalan, prinsip rumah tangga dan intervensi keluarga (orangtua) yang begitu kentara. Pertama mulai dari konflik saat dia dikuliahkan orangtuanya, bukan mencarikan pekerjaan untuknya. Sebenarnya aku juga sudah mulai ada firasat kalau ini enggak akan bener. Apalagi, mertuaku tanpa minta persetujuan dariku langsung main kuliah. Mertuaku  memberi pilihan antara kerja atau kuliah. Awalnya aku  mau  kuliah,  tapi dipikir lagi…enggak ada salahnya kerja. Akhirnya itulah keputusan yang aku ambil. orangtuanya senang, mungkin karena menurut mereka bisa bantu buat uang kuliahnya Rasyan.”

“Aku kerja-dia kuliah. kami melakukan aktivitas kami masing-masing. Beberapa minggu masuk kuliah dia sedikit berubah, entah karena pergaulan atau apalah yang jelas ada perubahan sikap negatif yang signifikan yang seharusnya tidak dilakukan  oleh suami terhadap seorang istri. Dan terbukti dari sikapnya yang mulai menjauh dari hari ke hari. Entahlah,  Mungkin bosan atau jenuh. Hal yang semakin membuat aku bertanya-tanya karena dia keseringan menyendiri baik sedang chatting via sms atau pun Facebook. Aku berusaha bertanya pada Rasyan barangkali aku punya salah. Aku mencoba mendekatinya dengan komunikasi yang intens, tapi tak ada tanggapan yang masuk akal. Bila pun aku memulai mencairkan suasana, sebuah anggukan dan kata ‘ya-tidak’ adalah sebuah pernyataan yang tepat baginya.”

“Maaf, aku memotong. Aku masih belum mengerti kenapa Rasyan kuliah bukan kerja?” tanyaku.

“sudah kubilang tadi, orang tuanya saklek menguliahkan dia dan menyuruhku bekerja. Dan in yang aku benci dari Rasyan adalah  tak punya sikap tegas sebagai suami. Jujur aja, Yash, antara aku, mertua dan orang tuaku tak punya hubungan baik.”

“Jadi, dulu siapa yang memutuskan agar kalian segera menikah?” tanyaku lagi

“kakek dan nenekku. Tentunya dengan persetujuan orangtua. Kautahulah gimana kondisi kita saat itu. Aku pun sempat  bimbang karena terlampau muda untuk menikah. Apalagi Rasyan, kedewasaannya tak selebat janggutnya”

Aku hanya mengangguk.

“Bisa kaubayangkan betapa sakitnya bila istri bekerja dan suami seperti tak punya beban hidup sedikit pun. Waktu itu Aku kerja di sebuah perusahaan sebagai Akuntan di pabrik tekstil. Tak ada permasalahan dalam pekerjaanku. Masalahnya hanyalah di rumah. Rasyan sudah jarang menginap di rumah. Saat kutanya mengapa tidak pulang, dia mengaku menginap di rumah teman untuk mengerjakan beberapa tugas. Aku percaya. Tapi seringnya menginap di rumah orang lain tanpa pemberitahuan kepada istri menimbulkan kecurigaan. Aku sudah berusaha untuk terbuka ke pada Rasyan tentang pekerjaanku, namun sebaliknya dia tak pernah sekali pun menceritakan apapun tentang aktivitasnya. Jika awal bulan,  hanya gaji kerja yang Rasyan tanyakan. Bahkan Untuk memenuhi ‘kepuasan’ pribadinya pun tanpa ramah tamah terlebih dahulu”

“Aku sering menangis, bahkan aku pernah diusir jam 1 Dini hari karena tangisanku menggangunya. aku tak bisa menahan kecurigaanku, saat Rasyan tertidur aku selalu membuka inbox-outbox smsnya. Sudah kosong. Sebenarnya aku berusaha untuk menghindari kecurigaan ini, namun selalu tak berhasil karena sikapnya yang makin menjadi dengan berbuat kasar terhadapku. Aku sempat menanyakan secara terang-terangan apakah Rasyan sedang menyukai perempuan lain. Namun jawabannya amat tak pantas bagi seorang pemimpin rumah tangga, ‘wajarlah aku suka sama cewek, berarti masih normal ‘kan?’ jawabanya yang sangat menyakitkanku”

“Puncaknya di malam Idul Adha, saat dia berhasil menamparku, aku kabur ke rumah orang tuaku. Alih-alih dia menjemput, malah membawa seorang perempuan dan tidur bersama di tempat aku dan Rasyan sering tidur”

Gila! Separah itu tingkah laku Rasyan?

“Dari mana kamu tahu Rasyan membawa seorang perempuan?” Tanyaku.

“Ada seorang temannya, entah iba atau kasihan, yang memberitahukan lewat Direct message Facebook bahwa Rasyan tadi mengajak salahsatu temanya ke rumah kontrakan kami. Walaupun jauh dari Nagreg menuju Rancaekek, Aku bergegas melajukan motor matic menuju tempat tinggal kami untuk membuktikan kabar tak sedap itu. ”

Dia menghela nafas. Ceritanya sedikit membuatku bergidik.

“setelah sampai, nampak motor Rasyan yang di parkir di luar. Sepuluh langkah menuju rumah aku sengaja mematikan motor dan mendorongnya.  Aku mengetuk pintu dengan lembut. Dia membuka pintu bertelanjang dada dan hanya memakai sarung. Rasyan terkejut. tanpa menghiraukannya aku masuk dan dia pun sempat menahan langkahku. Aku menuju kamar dan ternyata….”

Tirai menggigit bibir. Matanya mulai berkaca-kaca dan mengeluarkan selembar tissue dari dalam tasnya. Aku masih menyeksamai apa yang dia ceritakan. Nada dering handphone Tirai berbunyi. Ia membuka sms dan membalasnya.

“Tak tahu apa yang harus kulakukan, aku bilang pada Rasyan bahwa jika dia belum berubah, jangan salahkan aku jika aku pun berbuat hal yang sama. Aku pun mulai dekat dengan seseorang di perusahaan tempat bekerja karena sering curhat tentang rumah tanggaku yang di ujung tanduk. Salahku, cara ini awalnya hanya untuk membuat dia cemburu dan berharap dia berubah tapi ternyata dia menjadikan alasan ini untukk bercerai. Aku terjebak. Dan akhirnya kami bercerai. Beberapa bulan setelah bercerai teman curhatku dulu melamarku. Dia sayang padaku dan berjanji takkan mengikuti jejak mantan suamiku dulu.”

“Pelajaran berharga buatku, Rai.” Kataku

“Ya, Yash, bangunlah rumah tanggamu dengan saling setia dan percaya. Oya, jangan bilang siapa-siapa, ya?”

“Istriku, boleh?”

Dia mengangguk tersenyum.

“Aku turun di shelter ini, Yash. Salam, ya, Sama Istri” Dia beranjak dari tempat duduknya menuju pintu.

Setelah berhenti di shelter, bus ini melanjutkan lagi perjalanannya. Entah berapa shelter lagi menuju terminal leuwi panjang. Masih terngiang apa yang Tirai ceritakan. Rasa rindu bertemu anak dan istri tiba-tiba kembali meletup. Aku berjanji untuk mencintai kalian selamanya.  

*)Gambar diambil dari Blogdetik.com 

 

 

 

kepuasan

Anak SD maupun TK pun sudah tahu perasaan macam apa saat kau mendapatkan sesuatu yang kau inginkan sudah tampak di depan mata. Aku tak menyangka sebuah benda yang telah lama kuidamkan ini akhirnya berada di tanganku. Memang sederhana, mungkin orang lain bisa mendapatkan yang lebih bagus, lebih mudah atau pun lebih canggih dari apa yang kupunya namun perjalanan panjang inilah yang tampaknya membuat fenomena hatiku terasa ramai. Tapi ya sudahlah, aku takkan membahas benda sederhana ini.

Apa yang telah kita dapat sebenarnya dalam kehidupan ini?

Adakalanya semua tentang kepuasan hati. Mendapatkan sesuatu belum tentu baik bagi kita. Saat seseorang melihat sebuah benda (barang) yang cukup menarik perhatian maka tak ayal memiliki adalah sebuah hal yang ingin diwujudkan. Sayangnya kita tak cukup kekuatan untuk mengatakan tidak terhadap sebagian hal yang tak terlalu dibutuhkan. Atau dengan kata lain seberapa penting benda tersebut dapat kita andalkan dalam kehidupan kita.

Setumpuk baju yang dibeli saat mata kita tertarik maka memunculkan pertanyaan “pentingkah untuk itu?” aku kira sebuah hal yang mesti cepat-cepat untuk dipikirkan. Sekiranya masih banyak, takusah belilah…

Tapi ini ‘kan tentang kepuasan hati….

kepuasan hati aku kira bukan “membutuh-butuhkan” sesuatu melainkan saat kau ingin memilikinya, kau takingin memilikinya walaupun kau mampu memilikinya. Itu sih pendapatku.

Bandung, 7 Agustus 2013

 

ketikankunet

Ini tempatku, mana tempatmu?

FOTO BLOG

A fine WordPress.com site

Ruang Tinta

Membaca Bahasa di Ruang Tinta

pengikatsurga

menuliskan peradaban

Koidatul Lisa

" in a day, when you don't come across any problems, you can be sure that you are traveling in a wrong path"

M O R E T A

LAKSANAKAN KATA HATIMU

Muhammadrasyidridho's Blog

Kehidupan adalah universitas terdahsyat

Bundadontworry's Blog

kedamaian hati ada dalam rasa syukur.

Padepokan Budi Rahardjo

belajar untuk menjadi manusia ...

Ridho Dan Bukunya

Membuka Dunia Dengan Membaca

Membaca Rindu

sebab menulis adalah kata kerja

Journey of Sinta Yudisia

Writing is Healing. I am a Writer & Psychologist.

WWW.MENONE.WORDPRESS.COM

BERITA DAN INFORMASI

Penganyam Kata

works by Daniel Mahendra

Habibi Mustafa

... berbagi ilmu, bertambah tahu!

Angkasa13

Ceritanya saya, Pikirannya saya, Hatinya saya